Laporan Laba Rugi Dalam Bisnis Kuliner Part 2
Part 1 di baca di sini:
Setelah dalam artikel sebelumnya kita membahas tentang pendapatan dan analisa-analisa yang bisa dilakukan untuk memaksimalkannya, sekarang akan kita bahas tentang bagian selanjutnya, yaitu tentang biaya-biaya. Dalam bisnis kuliner, usaha untuk mendapatkan tingkat keuntungan (profit) yang diinginkan sebetulnya sangat mudah, yaitu dengan cara maksimalkan pendapatan (revenue), dan optimalkan biaya (cost), yang sulit tentu adalah menjalankannya. Nah, sebelum menjalankannya kita pahami lebih lanjut bagian kedua dari artikel tentang laporan laba rugi ini.
Harga Pokok Penjualan (Cost of Goods Sold)
Salah satu komponen terbesar dalam bisnis kuliner (bisa mencapai 30%-50% dari pendapatan), adalah harga pokok penjualan yang sering juga dikenal dengan singkatan HPP atau COGS. Dalam mengelola COGS sangat penting kita memahami praktek-praktek Supply Chain Management yang baik. Artikel tentang SCM sudah pernah dibahas sebelumnya dan bisa di klik disini: Mengenal Apa itu Supply Chain Management (SCM)
Struktur sederhana COGS dalam laporan laba rugi menyambung dengan struktur pendapatan yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai berikut :
Gross Sales
(-) Discount
(=) Net Sales
(-) Cost of Goods Sold
(=) Gross Profit
Komponen COGS untuk bisnis kuliner umumnya terdiri dari:
Biaya bahan mentah / bahan baku, seperti: telur, daging, dan cabe.
Biaya kemasan, seperti boks karton, plastic cup, dan kantong plastik.
Biaya consumables, seperti tissue, sedotan, dan hand sanitizer
Biaya produksi, seperti biaya gas LPG (juga biaya energi lainnya yang berkaitan dengan proses produksi seperti air dan listrik, jika bisa dipisahkan), dan biaya sumber daya manusia yang tugasnya khusus untuk memasak atau di kitchen (jika memiliki tugas lain seperti misalnya menjadi waiter atau kasir bisa diklasifikasikan sebagai biaya operasional).
Biaya distribusi (jika ada), seperti biaya mendistribusikan bahan-bahan dari gudang utama ke outlet-outlet untuk bisnis kuliner yang sudah memiliki banyak cabang.
Biaya depresiasi dan amortisasi, seperti biaya depresiasi peralatan produksi, biaya depresiasi bangunan dan biaya amortisasi sewa tempat. (Biaya-biaya ini bisa juga dikelompokan secara terpisah di luar COGS sebagai Biaya Depresiasi & Amortisasi)
Catatan pentingnya, ada beberapa kesalahan umum yang sering terjadi, utamanya dalam usaha kecil mengenai pemahaman biaya misalnya saja:
biaya bahan mentah / bahan baku dan biaya kemasan tidak dibebankan sekaligus senilai dengan pembelian yang terjadi dalam satu bulan (atau periode tertentu). Pencatatan biaya hanya dilakukan hanya atas jumlah yang terpakai / terjual, karena bisa jadi masih ada sisa bahan baku yang masih dalam status persediaan (belum diproduksi / terjual)
biaya pembelian alat produksi tidak dibebankan langsung sekaligus ke dalam perhitungan biaya produk, tapi dibagi berdasarkan masa manfaatnya. Misalnya pembelian kompor senilai Rp 3,000,000 dapat dibagi sesuai masa manfaatnya misalnya 1 tahun / 12 bulan, yang artinya perbulan biayanya adalah Rp 250,000. Inilah yang dikenal dengan biaya depresiasi alat produksi
biaya sewa tempat usaha yang dibayar dimuka tidak dibebankan sekaligus tapi dibagi sesuai dengan periode sewanya. Misalnya, biaya sewa senilai Rp 12,000,000 per tahun akan dibebankan sebagai biaya tetap per bulan sebesar Rp 1,000,000 (Rp 12,000,000 dibagi 12 bulan). Inilah yang dikenal dengan biaya amortisasi sewa.
biaya renovasi atau pembangunan outlet juga tidak dibebankan sekaligus tapi juga dapat dibagi sesuai dengan estimasi masa manfaatnya. Inilah yang disebut dengan biaya depresiasi bangunan.
Semua perbedaaan mengenai kapan pencatatan sebagai biaya dan sebagai pengeluaran kas akan menjadi perbedaan mendasar antara Laporan Laba Rugi (P&L) dan Laporan Arus Kas (Cash Flow)
Hal-hal penting yang harus dianalisa :
• Persentase HPP terhadap Pendapatan (COGS % to Revenue), bandingkan persentase COGS antar periode. Lebih bagus lagi jika analisa ini dilakukan dengan level yang lebih detil yaitu di level bahan mentah, bahan kemasan, dan biaya-biaya terkait lainnya. Pahami apa yang menjadi penyebab naik turunnya persentase antar periode, apakah ada inefisiensi yang terjadi.
• Bahan Produksi yang Terbuang (Production Waste), untuk bisa melakukan hal ini kita harus memiliki dulu dua prasyarat yaitu :
1) Struktur Resep Produk (Bill of Materials), ini adalah struktur yang menjelaskan untuk membuat suatu produk per unit berapa banyak bahan baku yang dibutuhkan. Misalnya untuk membuat semangkok bubur ayam, berapa gram beras yang dibutuhkan, berapa gram ayam suir yang dibutuhkan, dan lain-lain. Ini disebut penggunaan bahan teoritikal.
2) Penghitungan Persediaan (Stock Opname), untuk mengetahui berapa posisi / kuantitas persediaan di akhir periode.
Formulanya adalah persediaan awal + pembelian bahan baku – persediaan akhir = penggunaan aktual bahan produksi. Ini disebut juga dengan penggunaan bahan aktual.
Untuk menganalisa production waste, kita harus membandingkan poin 2 (penggunaan bahan aktual dengan dengan poin 1 (penggunaan bahan teoritikal). Artinya kalau berdasarkan kuantitas produk yang terjual berapa banyak bahan yang harusnya terpakai dan ini kita dibandingkan dengan penggunaan aktualnya. Selisihnya adalah production waste, yang bisa jadi terjadi karena produk gagal yang terbuang, penggunaan bahan baku yang terlalu banyak (over-dose) atau pun bisa juga bahan bakunya hilang / dicuri.
• Persentase gross profit terhadap pendapatan (Gross margin %), bandingkan persentase gross margin antara periode, pahami apa yang menyebabkan naik atau turunnya persentase tersebut, berdasarkan pergerakan masing-masing komponen COGS
Untuk memaksimalkan Gross Profit, tentunya bisnis kuliner kita harus memiliki COGS yang efisien.
Biaya Operasional (Operational Expense)
Secara sederhana struktur biaya operasional dalam laporan laba rugi adalah sebagai berikut
Gross Sales
(-) Discount
(=) Net Sales
(-) Cost of Goods Sold
(=) Gross Profit
(-) Operational Expenses
(=) Operating Profit
Komponen Biaya Operasional untuk bisnis kuliner umumnya terdiri dari :
• Biaya gaji karyawan operasional, seperti gaji kasir dan waiter
• Biaya gaji karyawan administrasi, seperti gaji karyawan bagian keuangan, marketing dan bagian pembelian (purchasing)
• Biaya marketing, seperti biaya promo di media sosial, give away promo voucher dan biaya promosi lainnya
• Biaya riset dan pengembangan produk (Research & Development), seperti bahan-bahan yang dibutuhkan dalam mengembangkan produk baru / inovasi produk.
• Biaya lingkungan, seperti retribusi lingkungan sekitar, iuran sampah dan lain-lain
• Biaya rumah tangga, seperti biaya listrik dan air (yang tidak berkaitan langsung dengan biaya produksi)
Untuk bisnis kuliner yang cabangnya sudah banyak, komponen biaya operasional diatas bisa dipisahkan lagi antara yang terkait langsung dengan operasional dengan yang tidak terkait langsung (general atau back-office cost) sehingga ketika menganalisa profit bisa dipisahkan antara profit dari aktivitas operasional dan profit keseluruhan setelah biaya general atau back-office.
Hal-hal penting yang harus dianalisa :
• Persentase Biaya Operasional terhadap Pendapatan (Opex % to Revenue), bandingkan persentase biaya operasional antar periode. Lakukan analisa ini di level yang lebih detil yaitu di level jenis biayanya seperti biaya gaji operasional, administrasi, biaya marketing dan lain-lain. Pahami apa yang menjadi penyebab naik turunnya persentase antar periode.
• Anggaran vs Aktual (Budget vs Actual), buatlah budget untuk setiap komponen biaya operasional dalam satu tahun atau satu bulan. Bandingkan bagaimana penggunaan biaya aktual dibandingkan dengan budget-nya. Cari tahu penyebab varian biaya tersebut sehingga biayanya bisa lebih efisien.
• Persentase Operating Profit terhadap Pendapatan (Operating Margin %), bandingkan persentase operating margin antara periode pahami apa yang menyebabkan naik atau turunnya persentase tersebut berdasarkan pergerakan masing-masing komponen pendapatan dan biaya.
Demikianlah 2 bagian utama laporan laba rugi dalam bisnis kuliner, sekali lagi teknis penyajian detailnya bisa sedikit bervariasi tergantung jenis operasi dan besarnya bisnis kuliner teman-teman foodpreneurs atau misalnya klasifikasi dengan memasukan unsur laba sebelum / setelah pajak atau laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi.
Tapi pada akhirnya bagian utama dan cara menganalisanya akan tetap sama. Dan seperti telah dijelaskan sebelumnya salah satu komponen biaya terbesar dalam bisnis kuliner adalah COGS yang harus dikelola dengan penerapan Supply Chain Management yang baik. Silahkan klik disini untuk belajar lebih lanjut tentang SCM: Mengenal Apa itu Supply Chain Management (SCM)
Semoga bermanfaat untuk para foodpreneurs!
Nah temen-temen yg ingin MEMULAI atau udah MULAI tapi masih tidak tahu arah, bulan depan Foodizz punya kelas yang LEGEND banget nih yaitu Memulai Bisnis Kuliner dari Nol ke 16, sudah 16 angkatan, nama-nama yang pernah ikut mungkin temen-temen sudah kenal banget seperti Waroeng Steak, HAUS, TEGUK, Mr Suprek, dan ratusan brand lainnya. Kali ini lebih asik, yang ga bisa ikut offlinenya di Bandung bisa ikut Live nya di online. 4 Hari, 32 Jam. Plus lebih mantap lagi bakal di sharing 5 bisnis yang potensi buat di garap. Yuk join sekarang, ini moment yang sangat pas untuk mempersiapkan bisnis kamu. Klik link ini
Foodizz
1st F&B Education Platform in Indonesia.
www.foodizz.id
*Buat temen-temen yang mau copas artikel silahkan ajah ga perlu minta izin asal mencantumkan sumber artikelnya, yaitu www.foodizz.id/blog. Yuk hargai karya dan usaha orang lain dalam membuat konten"
Sumber gambar: unsplash.com
Commentaires